Sep 13, 2015

EAR[69] - A-Tseng Fikrey & The Ladies - Sasa Bagara Malas Malas (2015)


Selamat. Selamat untuk anda semua. Kami menyapa anda kembali, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dengan sesuatu yang amat segar. Bukan main segarnya, merinding bukan main kami dibuatnya. Karya bebunyian dengan gaya bunyi yang jarang-jarang kami terbitkan di tempat ini. Jarang-jarang betul kami ini membicarakan musik. Memakai kata tersebut saja kami merasa segan dan kebingungan. Karena kami tidak mau terjebak dalam pretensi dalam ke 'sok paham-an' tentang musik. Khususnya dalam musik rock Indonesia. Sejarah musik rock Indonesia merupakan sebuah legenda yang melahirkan nama-nama kelompok bermusik yang gaungnya terdengar sampai ke luar Indonesia. Secara sederhana sejarah musik rock Indonesia, selain dari gaung bunyinya, juga mengisahkan gaya hidup pemusik-pemusiknya yang seronok dan panas. Obat-obatan, pertikaian, dan wanita tidak hanya sekedar menjadi bumbu dalam perjalanan musik rock Indonesia. Hal tersebut telah menjadi salah satu sentuhan utama dalam kontemplasi yang tidak dapat diragukan kemurniannya oleh para legenda musik rock lokal. Sehingga rasanya ada yang hilang apabila sentuhan tersebut diabsenkan keberadaannya dari karya musik rock Indonesia. Sentuhan tersebut seolah menjadi salah satu main ingredients yang membuat musik rock jenis ini, diakui menjadi sebagai salah satu sub jenis oleh setiap kaca mata bunyi-bunyian dari seluruh dunia. Dari pengalaman kami sendiri, di Indonesia, kelompok Rock N Roll modern belum ada yang kembali menghantam kami dengan begitu keras semenjak Suri dengan Gurun Nestapanya. Sebuah kesegaran yang panas, modern, baru, dan tidak sekedarnya. Mereka mampu sombong, dengan apa yang dibuatnya, menghantam dengan keras di dalam, bukan di luar. Pada pelepasan karya kali ini, kami seperti secara sekelebat melihat imajinasi kami akan suatu situasi dalam sejarah Indonesia. Anda tentu pernah mendengar nama bung Njoto dari Lekra bukan? Nah, rasanya kami seperti disuguhi kisah audio-visual, juga tekstual, tentang keberadaan rekaman kolaborasi bung tersebut dengan musisi kenamaan, Jack Lesmana. Kolaborasi dengan kontemplasi murni dari orang-orang yang hidup di zaman tersebut, yang direkam dengan menggunakan gaya bahasa dan gaya bermusik rock pada akhir 80-an atau awal 90-an. Suatu penggabungan kesopanan dalam kisah asmara menyimpang bung Njoto dengan seorang gadis Rusia, yang disajikan atau diceritakan kembali dengan model kenakalan pada era 90-an. Jika saja orang-orang tersebut masih hidup pada era 90-an, bisa saja hal tersebut terjadi, apa yang kami bayang-bayangkan- sebuah imajinasi. Sesuatu yang segar yang tidak hanya berhenti menjadi irama persembahan untuk seorang bung besar. Irama yang egois namun tak bisa ditolak dendangannya untuk membuat sekelompok orang menari bersama-sama.

Alkisah seorang pelajar yang menimba ilmu di kota pelajar, bertemu dengan teman-temannya yang bisa dibilang sepemahaman dalam membuat karya. Seorang Fajar Afdau yang bertemu dengan Wednes Mandra dan Judha Herdanta, yang kemudian membentuk aliansi bersama kawan-kawan sepermusikan yaitu Tatan, Pawitra, dan Yoga. Imajinasi itu terkumpul dalam album penuh dari A-Tseng Fikrey & The Ladies (AFTL) yang akan anda sekalian dengarkan sebentar lagi. Itu pun jika anda membaca tulisan ini. Tak diragukan lagi kemampuan menggubah musik rock yang kental dengan rasa Indonesia, apabila anda memiliki seorang pemusik yang berasal dari tanah borneo di dalam kelompok bermusik anda. Kami rasa Fajar telah berhasil mengambil peran tersebut dalam penggubahan musik milik AFTL. Setiap bassline-nya selalu menonjol dalam tiap tembang kelompok bermusik ini. Kami rasa, kami tidak salah jika kami bilang bahwa Fajar telah memberikan sumbangan yang besar untuk membuat musik rock khas Indonesia yang dimainkan oleh AFTL menjadi sesuatu yang avant-garde, jika dibandingkan dengan kelompok bermusik rock di Indonesia sekarang ini. Fajar tidak tahu apa-apa setahu kami, dia hanya memainkan bass-nya, membenturkannya dengan apa yang diinginkan oleh rekan sepermusikannya di dalam AFTL. Sebuah benturan yang diingankan. Begitu juga, tak perlu diragukan lagi, kemampuan untuk memberikan sentuhan khas yang konsisten dari tiap proyek musik yang dibuatnya. Gabungan Wednes, Judha, dan Pawitra berhasil mempertahankan warna, rasa, dan cuaca bermusik yang khas wilayah selatan Yogyakarta. Pleretian sound, Bantulian sound, atau the sound of Kidul yang kami rasai pada karya-karya yang sebelumnya mereka buat tentu berhasil membuat tembang-tembang dalam album ini menjadi ekstasi, serta obat rindu bagi para pihak yang pernah tersentuh oleh gaya bermusik mereka. Tentu saja kami merupakan salah satu  dari pihak tersebut, dan juga anda yang merasakan hal yang sama. Hal yang baru pada penggubahan tembang-tembang ini adalah bergabungnya Tatan dan Yoga dalam kelompok bermusik ini. Tatan berhasil memberikan sentuhan sederhana dari tiap tuts keyboard yang ia tekan. Tak diragukan bahwa Tatan telah dengan sukses membaca naluri dari Wednes, Judha, Pawitra, dan Fajar, yang kemudian dengan sukses memasukan nalurinya sendiri ke dalam tiap tembang AFTL. Sehingga membuahkan hasil yang manis meskipun tidak bermoril. Begitu juga dengan Yoga. Kehadirannya tentu juga kami nantikan dalam tiap gubahan tembang AFTL. Keberadaannya pernah kami bayangkan dalam satu obrolan kami dengan bung besar Wednes Mandra. Di dalam obrolan tersebut kami membayangkan penggabungan musik rock Indonesia dari kontemplasi murni AFTL sendiri, dengan idola-idola kami di luar Indonesia seperti Nick Cave dengan The Birthday Pary/The Bad Seeds/Grinderman-nya, juga Michael Gira dengan Swans dan David Bowie dengan karya-karyanya, namun tetap bersandar pada seuatu yang sangat 'biasa' namun mempunyai wajahnya sendiri, mungkin kalau kami (Ear Alert) boleh memberikan contoh, kami memikirkan kelompok bermusik seperti Naif atau Golden Wing.

Obsesi Wednes Mandra terhadap hal-hal yang terjadi pada dunia kenakalan pria dewasa, berhasil membuat tembang-tembang yang bukan main kedahyatan dan kedewasaannya. Namun nuansa semangat jiwa muda dari tembang-tembang tersebut tetap terasa. Dewasa bukan berarti menjadi tua kan? Orang-orang dewasa yang melakukan kenakalan seperti yang dikisahkan dalam tembang-tembang AFTL, biasanya merupakan orang-orang dewasa yang enggan menjadi tua, yang merindukan dan selalu menggenggam erat energi jiwa mudanya, seuatu yang ada dibalik kedewasaan, sesuatu yang keras, sekaligus lembuat, dan pliket. Tembang untuk para dewasa yang meneteskan keringat-keringat kemudaan. Kekuatan Wednes Mandra dalam penulisan lirik pun tak bisa disangkal menjadi sumbangan yang berarti untuk mewujudkan obsesinya tersebut ke dalam musik. Kalau boleh berimajinasi lagi, kami seperti melihat Slank yang kembali nakal, dalam tembang 'American Style'-nya, dimainkan berkali-kali dengan kisah-kisah yang berbeda oleh AFTL. Kelompok bermusik ini tidak malu memberikan sentuhan yang benar-benar lokal dalam musik rock Indonesia biasa yang sedang mereka bangkitkan. Coba anda dengarkan lagu berjudul 'Hidup Dangdut Terlarang' atau 'Ani Hijab Seksi', anda mungkin akan memahami apa yang kami maksud dengan sentuhan yang benar-benar lokal. Benar-benar fantastis. Keberadaan tembang-tembang seperti, 'Tresna Srenggala', 'Buas Birahinya' dan 'Kan Kujaga Nyala Api Cinta Ini', membuat kami terjaga dan sadar bahwa kelompok bermusik ini telah melahirkan sebuah kesempurnaan melalui album ini. Semua sentuhan khas musik rock Indonesia ada pada album ini. Suasana nakal: apatis atau egois tersebut, diturunkan pada sebuah refleksi dalam kontemplasi yang diwujudkan melalui tembang-tembang yang sifatnya balada. Mungkin anda juga menyadarinya, kalau tiap kelompok bermusik rock Indonesia selain membuat tembang yang keras, mereka juga membuat satu atau dua tembang lembut yang tidak tanggung-tanggung nuansa galau dalam liriknya, serta kesempurnaan dalam kengelangutan gubahan musiknya. Begitu sempurna. Semua sentuhan itu ada dari AFTL. Sempurna. 

Begitulah sejauh ini apa yang kami lihat dari AFTL. Dengan tidak mengurangi rasa hormat untuk tidak peduli pada habitat para ilmuwan (meminjam istilah dari Doyz) yang tidak bosannya meributkan dan merisaukan masa depan musik 'indie' Indonesia, kelompok-kelompok bermusik seperti AFTL, Polka Wars, Vague, Sore, dan Zoo dengan tidak banyak 'cing-cong' telah sukses menelurkan karya-karya musik rock yang segar. Kami tidak mau masuk ke dalam kerisauan dan keributan tersebut, karena bagi kami post-indie dan segala obrolan tentang hal tersebut adalah omong kosong belaka, kami menyebut segala kontemplasi suara tersebut sebagai garda depan, tidak ada menang kalah, suatu hal yang sangat biasa, dengan cara menikmati yang unggul, selalu dapat menjadi hal yang luar biasa. Hal biasa, adalah hal yang luar biasa. Kami adalah anak serigala, berpesta pora dan bersahaja. Kami memburu dan menumpahkan cinta. Dengarkan auman perawan dari para srenggala yang mabuk oleh cinta. Lampiaskan nafsumu, Ladies...


No comments:

Post a Comment